MENJALANI RAMADAN TANPA KEHADIRANMU

Ramadan sudah tiba, tapi hati terasa hampa. Ramadan kali ini adalah Ramadan yang tak biasa. Aku tidak bisa  nikmati Ramadan pertama dengan keluarga besarku. Bapak dan Ibu yang sekarang lebih banyak menghabiskan hari-harinya di Palembang dari pada di Kediri. Membuatku enggan mudik ke Kediri karena rumah terasa sepi tanpa mereka. Tahun kemarin seperti bukan lebaran biasa karena jauh dari kedua orang tua. Tapi, Ternyata tahun ini aku dan suami menjalani Ramadan yang tak biasa. 

Suasana hampa juga terlihat di rumah Jombang. Rumah tanpa kehadiran Ibu mertua di dalamnya terasa tak lengkap. Begitulah, kita akan sangat kehilangan jika orang yang kita sayangi pergi selamanya. Pergi tanpa sempat berpamitan dengan kita. Ibu mertua yang telah berpulang ke hadapanNya akhir tahun lalu masih menyisakan rasa kehilangan sampai saat ini. Beliau adalah Ibu keduaku, yang menyayangiku layaknya anak sendiri. Sepuluh tahun menjadi menantunya adalah sebuah berkah tersendiri buatku. 

Ramadan seperti ini, tiba-tiba merindukan beliau. Sosok pekerja keras, pendiam, dan sangat perhatian kepada anak-anak dan menantu.  Setiap tahu kalau kami akan pulang ke rumah, beliau selalu sigap memasak masakan kesukaan kami. Beliau rela memasak beberapa menu karena selera kami berbeda-beda. Ibu mertua tetap memasak masakan pedas meski anak-anak beliau tidak ada yang suka masakan pedas. Karena beliau tahu ada menantu satu-satunya yang pecinta masakan pedas, yaitu aku.

Meskipun kami hanya bisa menikmati sahur dan berbuka puasa bersama saat awal dan akhir Ramadan saja, tapi Ibu mertua tetap memberikan perhatian penuh. Menyiapkan susu dan teh hangat sebelum membangunkan kami untuk sahur. Begitu juga dengan hari-hari biasa. Minuman hangat di meja makan selalu sudah siap saat kami bangun. Hal yang terkadang membuatku malu sebagai seorang menantu. Karena tak bisa bangun sepagi beliau.

Ibu mertua juga sosok Ibu yang selalu memahami menantunya. Tidak ada cerita perseteruan antara mertua dan menantu diantara kami selama sepuluh tahun. Berbeda dengan cerita teman-temanku yang sering berselisih dengan ibu mertuanya. Beliau yang selalu cekatan ke dapur juga tak pernah mempermasalahkan aku yang tak bisa memasak. Memiliki ibu mertua seperti beliau adalah salah satu berkah hidup yang wajib aku syukuri.

Kini, aku hanya bisa menyebut nama beliau dalam doaku. Saat rindu kepada beliau sudah memuncak, aku hanya bisa tergugu dalam sujudku. Menyesali waktu yang banyak terbuang sia-sia selama sepuluh tahun ini. Aku yang merasa belum menunaikan bakti sebagai seorang anak seutuhnya.

Hikmah dari Kepergian Ibu Mertua 

Kepergian orang-orang tersayang selalu meninggalkan duka, tapi kita juga bisa Mengambil sebuah pelajaran berharga. Peristiwa sakitnya Ibu mertua membuatku lebih perhatian dengan pola makan sehari-hari. Apalagi saat Ramadan seperti ini. Pola makan yang tidak terkontrol bisa berakibat fatal untuk kesehatan kita. Banyak orang lalai mengontrol pola makan saat Ramadan. Rasa lapar dan dahaga seharian biasanya akan dilampiaskan ketika malam tiba. 

Pola makan ini sebenarnya punya andil besar terhadap kesehatan kita. Aku belajar dari Ibu mertua. Ibu mertua yang bertahun-tahun jarang sakit, tiba-tiba terserang struk tanpa ada gejala apapun sebelumnya. Setelah dilakukan observasi oleh dokter, penyebab utamanya adalah pola makan yang tidak terkontrol. Beliau memang bukan tipe pilih-pilih makanan. Beliau dan teman-temannya yang bekerja di sawah setiap hari menghabiskan waktu sarapan dan makan siang disela-sela pekerjaan mereka menanam padi. 

Menurut cerita bapak mertua, Bertukar menu sarapan atau makan siang  antar pekerja  di sawah adalah hal yang lumrah.  Ibu dan teman-temannya juga melakukan hal yang sama, Di sini letak akar permasalahannya. Kami, anak-anaknya tidak bisa mengontrol apa yang dimakan ibu saat bekerja di sawah bersama teman-temannya. 

Ibu mertua tipe orang tua yang tidak pernah mengeluhkan rasa sakitnya. Jadi, saat kami tidak mendengar keluhan apapun dari beliau menganggap kondisi beliau baik-baik saja. Hari itu, Kami juga tidak menyadari ketika tekanan  darah ibu sedang tinggi. Beliau melakukan aktivitas seperti biasa, termasuk pergi berbelanja di toko langganan. Tapi saat hendak naik sepeda pulang ke rumah, ibu terjatuh dan tidak sadarkan diri. Kemudian beliau dibawa ke rumah sakit. 

Diagnosa dokter membuat kami lemas. Ibu dinyatakan struk. Pola makan yang tidak terkontrol menyebabkan tekanan darah beliau sangat tinggi dan berakhir dengan struk. Sakit yang akhirnya membuat beliau menyerah pada hidup. Terbaring di ranjang satu setengah tahun tanpa daya. Dan akhirnya pergi untuk selamanya.

Ibu, doakan kami. Berat menjalani Ramadan tanpamu. Semoga kami bisa menunaikan ibadah suci ini tanpa halangan apapun. Semoga kami bisa mengambil hikmah dari peristiwa kepergianmu. Bahwa tidak ada yang abadi dan kami bisa menyiapkan banyak bekal selama Ramadan ini. Bekal yang akan kami bawa ke tempatmu saat ini, yaitu "rumah masa depan" tempat kembalinya jiwa kepadaNya. 




No comments

Post a Comment