Bertahan di Tengah Badai Pernikahan

Bertahan di Tengah Badai Pernikahan- Dunia pernikahan itu tak pernah ada habisnya untuk dibicarakan. Karena setiap hubungan itu unik. Begitu juga Sikap masing-masing orang dalam menghadapi badai pernikahan berbeda satu sama lain. Apapun penyebabnya, hanya ada dua pilihan saat sebuah pernikahan ada di ujung tanduk. Bertahan atau melepaskan diri dari ikatan suci itu. Melepaskan diri alias memilih untuk mengakhiri sebuah hubungan ketika badai pernikahan datang menjadi pilihan sebagian besar orang. 

Alasan yang dikemukakan juga sangat manusiawi. Tapi aku sangat penasaran kepada sebagian kecil orang terutama perempuan  yang memilih tetap bertahan di tengah badai pernikahan. Mereka memilih jalan itu dengan penuh kesadaran. Rasa penasaranku terjawab ketika dipertemukan dengan perempuan-perempuan spesial itu. Ada banyak pelajaran hidup yang aku petik dari kisah mereka.

Lima tahun lalu aku bertemu dengan seorang teman. Dia adalah perempuan yang usianya masih sangat muda untuk menyandang status ibu dari empat orang anak. Aku mengatakan masih muda karena selisih usiaku dengannya hanya beberapa tahun tapi anak sulungnya sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Semakin hari aku semakin dekat dengan sosoknya. Dia sudah seperti kakak bagiku. Sesama perantauan dan punya pola pikir yang sama mungkin menjadi alasan hubungan kita semakin dekat.

Suatu hari ia bercerita kepadaku tentang perjalanan hidupnya, termasuk alasan bertahan di tengah badai pernikahan sepuluh tahun silam. Bukan keberadaan anak yang membuatnya memilih tetap berada di samping sang suami. Tapi ia menuturkan tentang hakikat seorang istri untuk suami. Dia berprinsip tugas istri adalah mengulurkan tangan saat suami tersandung. Bahkan jika suami harus terjatuh berkali-kali, istrilah orang pertama yang harus menolong suami. Karena istri adalah separuh jiwa suami. Begitulah caranya melewati badai rumah tangga. Menjelma menjadi malaikat penolong yang punya hati seluas samudra. 


Kisah lain datang dari seorang perempuan yang ada di sebuah komunitas yang diasuh oleh seorang konsultan pernikahan. Perempuan itu bercerita tentang badai pernikahan yang datang di usia pernikahan yang sudah mendekati usia emas. Sebagai seorang istri, ia memutuskan bertahan di tengah badai. Alasan yang dikemukakan sungguh membuatku dan  setiap anggota yang menyimaknya menghela nafas panjang. Dia berprinsip setiap orang berhak atas kesempatan kedua. Termasuk suaminya. Karena manusia tidak ada yang sempurna. Badai pernikahan yang datang tak terduga bisa dilewati ketika ia dan suami memulai dari awal. 

Saling introspeksi diri dan menata ulang komitmen pernikahannya. Ia percaya beban yang diberikan ke pundak kita sudah diukur oleh Tuhan. Dan Tuhan mengirim masalah sepaket dengan jalan keluarnya. Begitu juga dengan ujian dalam pernikahan, Kadarnya sudah disesuaikan dengan kemampuan masing-masing individu. Asal tidak mengedepankan emosi dan bisa berpikir jernih maka setiap orang bisa bertahan di tengah badai pernikahan. Itulah yang ia katakan saat menutup sesi  sharing tentang konflik pernikahan malam itu.  

Ketertarikanku dengan perempuan-perempuan spesial tidak berhenti disitu saja. Aku membeli sebuah buku antologi kisah istri-istri tangguh yang tetap bertahan disaat badai datang menghampiri pernikahan mereka. Cerita pilu tapi syarat hikmah. Ada banyak pelajaran hidup yang aku dapat dari buku itu. Mulai dari mengingat tujuan awal menikah sampai bagaimana mempertahankan komitmen pernikahan dalam kondisi apapun. Tidak ada pernikahan tanpa badai. Bila sebuah pernikahan terlihat baik-baik saja itu tidak lebih karena kepiawaian dalam menghadapi badai pernikahan. Sehingga tidak perlu ada perpisahan.

Bagaimana dengan pernikahanku? pernahkah badai datang selama sepuluh tahun pernikahanku? bohong banget jika aku menjawab pernikahanku tak pernah goyah. Beberapa tahun lalu badai menghampiri. Aku berdiri di tepi jurang perpisahan. Situasi saat itu benar-benar tidak kondusif. Hasutan sekali saja dari pihak lain mungkin bisa langsung mengakhiri hubungan kita. Godaan untuk melepaskan diri dari ikatan suci itu begitu kuat. Alih-alih mempertahankan hubungan, yang ada hanya saling menyudutkan. Bila merujuk pada penjelasan seorang konsultan pernikahan Indra Noveldy dalam bukunya maka  konflik dalam pernikahanku saat itu sudah masuk  stadium 4. Kondisi pernikahan yang sangat rentan dengan perpisahan. 


Saat itu aku memilih waktu untuk sendiri beberapa waktu. Dalam kesendirianku aku banyak merenung. Aku teringat perempuan-perempuan hebat yang aku temui sebelumnya. Baik di kehidupan nyata atau hanya bersua di dunia maya. Kisah mereka seharusnya bisa aku ambil hikmahnya. Jika mereka bisa bertahan di tengah badai pernikahan, seharusnya aku juga bisa. Karena badai yang datang kepadaku tidak sebesar badai pernikahan mereka. Beban yang diberikan sudah diukur dengan kemampuanku. Sangat naif bila aku menyerah dan memutuskan melepaskan diri. Itu artinya aku lari dari masalah. Akhirnya aku memilih bertahan. Berusaha menikmati setiap proses yang tidak mudah. Menunggu dengan sabar hingga badai berlalu dengan menemukan  sebuah jalan keluar dari rumitnya permasalahan.

Begitulah seninya sebuah pernikahan. Bila komitmen kita memasuki gerbang pernikahan kurang kuat maka kita akan mudah terhempas saat badai datang. Ada banyak alasan untuk melepaskan diri dari sebuah ikatan bernama pernikahan. Namun juga ada seribu cara untuk bertahan di tengah badai pernikahan. Ada pelangi setelah hujan, pekatnya malam akan segera berganti dengan hangatnya mentari pagi. Jangan pernah menyerah karena hakikat sebuah pernikahan adalah berproses bersama menembus waktu.

Tulisan kali ini adalah kolaborasi dengan mbak Melani dari Sahabatblogger.com 

1 comment

  1. MasyaAllah.. sungguh hebat yang bisa bertahan saat badai tiba diusia emas, sakitnya seperti apa, jiwanya besar ya mbak..

    ReplyDelete