Drama Saat Mengantar Anak Observasi Masuk ICP

Alhamdulillah masih Februari. Dua minggu ini kurang produktif menulis di blog karena terlalu sibuk dengan persiapan si sulung masuk SD. Ternyata menentukan sekolah anak meskipun masih jenjang dasar cukup menyita energi. Melakukan survei beberapa sekolah yang sudah masuk kriteriaku dan suami juga memakan banyak waktu. Akhirnya pilihan pertama adalah mengikutkan mas Agha observasi di salah satu sekolah swasta di Surabaya yang membuka kelas ICP (International Class Program). Pertimbangan memilih sekolah itu karena dekat dengan tempat kerja suami dan berbasis agama. Selain itu dengan masuk kelas bilingual di sekolah tersebut, dia bisa mengasah kemampuan bahasa asing yang selama ini menjadi poin plus dalam dirinya. Di sekolah berbasis Islam dia juga bisa  belajar ilmu agama lebih mendalam sebagai bekal kelak saat dia dewasa.

Hari pelaksaan  pun tiba. Dia semangat berangkat  meskipun malam sebelumnya lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain dari pada belajar. Aku dan suami memaklumi karena memang dia masih usia TK. Kita tidak memaksa untuk belajar jika memang dia sedang tidak ingin belajar. Sesampainya di lokasi aku agak terkejut karena ternyata sudah penuh sesak dengan calon wali murid yang mengantar anak-anaknya observasi sama sepertiku. Informasi di papan pengumuman jumlah anak yang mengikuti tes ICP ini 88 anak. Sementara yang akan diterima hanya 24 anak. Si sulung harus  berjuang untuk menjadi bagian dari 24 anak itu. Tapi saat memasuki ruang observasi tak ada raut kecemasan pada dirinya. Dia tetap ceria layaknya anak-anak pada usianya.

Observasi kali ini berlangsung dua sesi. Sesi pertama yaitu tes akademik dan psikotes. Kemudian dilanjutkan dengan tes khusus ICP meliputi mathematics, Science, English. Tes ini dilakukan oleh pemegang lisensi dari Cambridge, bukan dilakukan oleh pihak pengajar di sekolah tersebut. Para orang tua tidak diperbolehkan melihat dari dekat proses observasi. Sehingga banyak orang tua yang gelisah menunggu observasi yang berlangsung secara marathon selama 3 jam. Menunggu selama 3 jam terasa lama sekali. Ada sedikit kekhawatiran tapi yakin dia bisa melewati setiap tahap tes tanpa kendala. Sesekali ikut nimbrung obrolan ibu-ibu yang sedang menunggu anaknya  sama sepertiku. Rata-rata dari mereka juga berharap anaknya diterima di sekolah itu karena belum terfikir second opinion untuk anaknya. Belum ada gambaran akan disekolahkan dimana sang anak jika tidak lolos observasi kali ini.
Tiga jam telah berlalu, satu persatu anak keluar dari ruangannya. Ada yang terlihat lesu dan tidak semangat saat menghampiri orang tuanya. Ada yang tetap ceria sambil bercerita seputar tes yang dijalani. Setengah jam menunggu tapi anankku belum juga terlihat keluar dari ruang 6 tempat dia melakukan serangkaian tes. Sebagai seorang bunda tentu dag dig dug berusaha menerka kenapa ruangan tersebut belum terbuka. Saat yang ditunggu pun tiba. Anakku keluar ruangan dengan senyum ceria. Tapi tak ada celoteh yang keluar dari mulutnya perihal tes yang dijalani selama tiga jam itu. Dia hanya berkata "aku lapar" sambil menyerahkan tas kepada ayahnya. Ketika ditanya "bagaimana tesnya tadi?" Dia hanya menjawab dengan singkat yaitu "gampang." Aku dan suami saling beradu pandang kemudian tertawa. Karena kita tahu bukan itu jawaban yang kita inginkan. Tapi kita segera menyadari kalau memang dia adalah tipe anak dengan kadar kepercayaan diri sangat tinggi. Jadi, susah atau mudah dia akan tetap mengatakan "gampang."

Aku dan suami sementara harus puas dengan jawaban yang diberikan oleh si sulung. Nanti setelah suasana hatinya benar-benar membaik pasti dia akan cerita lebih detail. Akhirnya kita membawa dia mencari makan dan memperbolehkan main sepuasnya di area permainan agar pikirannya rileks. Benar saja, saat sedang makan dia mulai bercerita. Dan kalimat pertama yang keluar dari mulut mungilnya adalah kalimat komplain ke bundanya. Dia berkata "kenapa bedak dan lipstik bunda ada di tasku?" aku hanya cengar-cengir karena merasa lupa memindahkan dua barang ajaib itu dari tas ransel yang dipakainya. Tas Ransel yang dibawa memang bukan tas sekolahnya tapi tas yang biasa dipakai bunda hangout. Niatku membawa dia jalan-jalan setelah selesai nanti. Dan dua barang itu wajib ada di tas  saat  bepergian. Gara-gara dua barang itu aku kena omel olehnya.

Seminggu berlalu, pengumuman hasil observasi telah keluar. Aku membuka website resmi sekolah untuk memastikan apakah nama si sulung ada di deretan nama yang tercantum sebagai calon siswa sekolah tersebut. Aku sempat kecewa karena tidak ada nama anakku di kelas program internasional, padahal sudah sampai pada urutan angka empat puluh lebih. Bahkan setelah membaca deretan nama yang lolos di jalur regulerpun tidak ada nama si sulung. Aku berusaha tenang dan mengulangi membaca deretan nama dari ururtan pertama lagi. Pelan-pelan aku baca nama anak-anak yang telah lolos hingga aku berhenti pada urutan angka sebelas. Aku membaca nama yang tak asing. Sebuah nama yang aku berikan untuk anak sulungku. Aku membaca berulang-ulang untuk memastikan bahwa itu benar nama anakku. Aku memanggil suami untuk lebih meyakinkan. Setelah aku dan suami yakin bahwa itu adalah nama anakku, kita pun berpelukan dalam haru. Mulut tak henti mengucap syukur. Aku dan suami tak menyangka dia bisa lolos tahap observasi dan diterima di kelas internasional program. Jujur ketika tahu peserta lainnya yang sudah fasih berkomunikasi dengan bahasa inggris di hari observasi, aku sempat meragukan kemampuan anakku. Aku sudah pasrah dengan hasilnya. Bahkan sudah mengatakan kepada si sulung harus siap dengan apapun hasilnya. Alhamdulillah dia bisa mengerti dan setiap hari berdoa agar diterima di sekolah yang dekat dengan tempat kerja ayahnya. Doa dan Usaha telah dilakukan. Inilah yang terbaik. Semoga ia bisa menuntut ilmu di sekolah tersebut dengan hati senang. 



1 comment

  1. Alhamdulillah, selamat buat putranya mbak, semoga bisa bersekolah dengan enjoy dan fun

    ReplyDelete