Jiwa-Jiwa Pemberontak


"Darah muda darahnya para remaja
Yang selalu merasa gagah
Tak pernah mau mengalah
Masa muda masa yang berapi-api
Yang maunya menang sendiri
Walau salah tak perduli
Darah muda"

Menentang Kehendak Orangtua
Lyric lagu bang haji Roma Irama di atas seratus persen bener banget. Pernah mengalami masa-masa itu. Masa muda yang berapi-api, ketika punya keinginan tak ada orang yang bisa mencegah, termasuk orang tua sendiri. Selepas SMA aku ingin segera melanjutkan kuliah dengan jurusan yang sudah lama aku idamkan, Kimia atau psikologi. Namun ternyata karena suatu hal yang menyebabkan tabungan orang tua habis,  mereka memintaku untuk menunda kuliah hingga tahun depan. Mereka sudah menjelaskan panjang lebar agar aku bisa mengerti. Dan berjanji tahun depan akan memperbolehkanku mendaftar sesuai jurusan yang aku inginkan. Akan tetapi darah mudaku tak bisa menerima. Aku tak mau kuliahku ditunda (Ah menyesal sekali pernah bersikap seperti itu).

Singkat cerita akhirnya bapak ibu luluh dan memperbolehkanku mendaftar kuliah. Bapak yang saat itu masih berada di palembang mengirim sejumlah uang yang dirasa cukup bahkan berlebih kepadaku, untuk keperluan biaya masuk perguruan tinggi negeri yang aku inginkan. Uang tersebut oleh ibu diberikan kepadaku sepenuhnya. Resiko tidak mau mendengarkan saran orang tua, mereka memintaku mengurus sendiri segala hal yang berkaitan dengan kuliah. Berangkatlah aku ke kota malang untuk mengikuti ujian seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB). Ternyata ujian tidak berjalan mulus (mungkin efek ridho orang tua yang setengah hati kali ya). Aku sakit ditengah-tengah ujian sehingga sebagian besar soal-sola ujian tidak aku kerjakan. Aku memilih memejamkan mata di ruangan yang penuh dengan pelajar yang sama-sama berjuang agar lulus ujian.

Merasa hasil ujianku gagal, aku mendaftar program diploma, masih di kampus yang sama. Ternyata tak ada tes dan aku langsung diterima. Segala urusan administrasi harus diselesaikan beberapa minggu ke depan. Aku yang saat itu putus asa tidak akan diterima di jurusan yang aku inginkan, memilih masuk program diploma English For Businnes. Dan melengkapi segala persyaratan administrasi termasuk membayar uang pembelajaran selama setahun. Selama aku membuat berbagai persyaratan seperti membuat KTP, SKCK, dan lain sebagainya, aku tak dibantu oleh ibu sama sekali. Aku harus bertanggungjawab atas pilihanku sendiri. Pilihan untuk tidak menunda kuliahku sampai tahun depan.

Sebulan kemudian, saat aku bersiap dengan kelas baru di program diploma English For Businnes, seorang teman mengabari bahwa aku lolos SPMB. Setelah aku dan ibu mengecek di koran yang aku beli, ternyata benar namaku ada disana. Namun aku masuk di jurusan Bimbingan Konseling. Bukan Jurusan Kimia atau psikologi. Memang pilihan ketigaku adalah Bimbingan Konseling. Aku dan ibu sempat senang sekaligus terharu. Ternyata dari sekian ribu pendaftar aku lolos. Padahal aku hanya mengerjakan sepertiga dari keseluruhan soal. Namun kesenanganku hanya bertahan beberapa menit. Untuk bisa menjadi mahasiswa BK secara resmi, aku harus daftar ulang dengan uang gedung yang sudah ditentukan. Sedangkan uang amanah bapak tempo hari sudah habis untuk biaya masuk di prorgam diploma dan untuk ongkos wira-wiri kediri-malang. Yang tersisa hanya uang untuk biaya hidup saat aku mulai masuk kuliah program diplomaku. Dengan berat hati aku melepas kesempatan emas tersebut. Aku berusaha legowo dengan keputusanku. Ibu mengingatkan kalau apa yang terjadi memang sesuai keinginanku sendiri.

Pembuktian Yang Penuh Drama
Ketika aku telah memilih jalanku sendiri, ngotot kuliah tahun itu juga, maka ada resiko yang harus aku tanggung. Bapak ibu sudah menjelaskan bahwa mereka akan konsen melakukan pemulihan kebun kopi di Palembang. Otomatis segala biaya akan tercurah kesana. Pemulihan ini penting untuk hasil jangka panjang. Menentukan Nasib sekolah adik-adik juga. Sehingga bapak ibu tidak bisa sepenuhnya menanggung biaya hidup selama kuliah di malang. Mereka hanya menanggung biaya yang berkaitan dengan kampus saja. Aku harus setuju karena itu pilihanku. Namun ternyata bertahan hidup dengan uang kiriman yang terbatas itu tidak mudah. Beberapa pekerjaan pernah aku jalani demi bisa makan atau membeli sesuatu yang berkaitan dengan tugas kuliah. Aku tak mau gagal. Aku akan membuktikan ke bapak ibu bahwa aku bisa. yang terpenting saat itu aku berfikir bahwa aku benar dengan pilihanku (ah jiwa anak muda banget, jiwa pemberontak).

Lagi-lagi semua tak berjalan seperti yang aku inginkan. Hari pertama ospek aku harus dilarikan ke rumah sakit oleh panitia karena aku sesak nafas. Dan aku harus opname sampai tim dokter mengijinkanku pulang. Mendengar kabar tersebut bapak ibu panik. Namun mereka ditenangkan oleh mbak-mbak senoir di kontrakkanku bahwa aku baik-baik saja. Setelah keluar dari RS, bapak menelpon meminta aku pulang dan tidak usah melanjutkan program diplomaku. Aku pun menolak. Dan memohon kepada bapak sambil tergugu menahan tangis agar terdengar oleh penghuni kontrakan yang lain. Ah meluluhkan hati bapak ternyata tak mudah. Beliau yang dikenal keras oleh kita-kita anaknya, akhirnya luluh dengan isak tangisku. Aku pun diperbolehkan tetap kuliah asal tak ada tragedi masuk RS lagi.

Hari terus berlalu. Aku giat mengikuti tiap kelas perkuliahan. Aku harus bisa membuktikan kepada bapak ibu kalau aku mampu bertahan dan aku bisa mempersembahkan sesuatu yang akan membuat bapak ibu bangga. Usaha dan doa membuahkan hasil. Di akhir Program diplomaku, aku bisa menjadi lulusan terbaik di Jurusanku. Sebuah prestasi yang menjadikan ibuku bisa naik podium. Prestasi yang kupersembahkan untuk bapakku, orang yang telah memberiku kesempatan menjalani pilihanku. 

Menjadi "pemberontak" dalam keluarga bukan hanya sekali ini aku lakukan. Setelah itu pun aku melakukan hal yang sama. Memutuskan kuliah di surabaya tanpa restu bapak. Karena idealisme beliau, sampai kapanpun tidak akan merestui aku memasuki kampus yang suatu saat memberiku gelar Sarjana Hukum Islam. Seperti kasus sebelumnya, tidak mengikuti aturan bapak berarti tak ada kucuran dana dari beliau. Bermodal keyakinan dan sisa tabunganku sendiri, tetap nekad menuntut ilmu di kota pahlawan.  Kota yang kadang kurang bersahabat dengan perantau seperti diriku. Namun pemberontakanku selalu membuahkan hasil yang membuat bapak ibu akhirnya luluh. Jiwa pemberontak seolah sudah menjadi bagian dalam perjalanan hidupku. Pemberontakan yang paling berkesan adalah saat meminta dinikahkan saat masih menempuh kuliah semester dua. Namun lagi-lagi aku bisa membuktikan kepada bapak ibu bahwa setelah menikah kuliahku tidak akan terbengkalai dan aku bisa lulus tepat waktu. Dan janji itu aku tepati.







2 comments

  1. Joged dangdut malam2 dulu aahh..

    Ah kisahnya jadi pemberontak sewaktu kuliah sama dengan kisahku juga niy, bener2 darah muda menggebu-gebu ya, tentunya dengan konsekwen dan hasil pencapain yang top.

    ReplyDelete
  2. Menurutku tiap orang pernah berada fase untuk memberontak atas segala sesuatu yang tidak sesuai dengan idealismenya. Aku pernah berada disana dan suka senyum-senyum sendiri kalo inget itu

    ReplyDelete