Prinsip Kehati-hatian Bank Syar'iah



Prinsip Kehati-hatian Bank Syariah- Salah satu jenis bank yang dikenal di Indonesia dilihat dari sistem atau tata cara operasionalnya adalah Bank Islam, yang lebih populer dengan Bank Syari’ah. Bank Syari’ah ini merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya (sebagaimana halnya dengan Bank Konvensional) menarik dan memberikan kredit (pembiayaan) dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya sesuai dengan prinsip syari’ah Islam.

Prinsip syari’ah, dalam pasal 1 (13) UU Perbankan dijelaskan sebagai aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang disesuaikan dengan syari’ah. 

Kegiatan tersebut meliputi pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). 


Ketentuan-ketentuan tersebut yang perlu digarisbawahi adalah redaksi atau pernyataan “ aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam”. Hukum Islam mengatur secara lengkap mengenai prinsip-prinsip tmuamalat pada umumnya dan perjanjian pada khususnya. 

Saat ini sebagian dari prinsip-prinsip tersebut terwujud dalam beberapa produk bank. Produk-produk bank sayari’ah tersebut merupakan produk pilihan yang dirancang secara prudent (baca: hati-hati) yang di dalamnya juga mengandung prinsip-prinsip perlindungan bagi nasabahnya (prinsip kehati-hatian).

Sebenarnya banyak ketentuan di dalam hukum Islam yang bermuatan prinsip kehati-hatian atau prinsip ber-usaha yang beretika Islami yang mau tidak mau juga harus diadopsi dan diterapkan dalam praktek perbankan syari’ah. Salah satunya tercantum dalam QS, 5:49 :

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka (menurut apa yang diturunkan Allah) dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS 5:49)


PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM SISTEM PERBANKAN SYARI’AH

Prinsip kehati-hatian (Prudential Principle) adalah suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya. Hal ini disebutkan dalam pasal 2 UU Nomor 10 tahun 1998 sebagai perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Dalam ketentuan ini, menunjukkan bahwa prinsip kehati-hatian adalah asas terpenting yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya.


Hermansyah dalam bukunya Hukum Perbankan Nasional Indonesia menyebutkan bahwa prinsip kehati-hatian mengaharuskan pihak bank untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti harus selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan berdasarkan profesionalisme dan iktikad baik. 

Berkaitan dengan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 2 di atas, kita dapat menemukan pasal lain di dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 yang mempertegaskan kembali mengenai pentingnya prinsip kehati-hatian itu diterapkan dalam setiap kegiatan usaha bank, yakni dalam pasal 29 ayat 2, 3, dan 4. Pasal tersebut mengemukakan bahwa:

(2) bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen,likuiditas, rentabilitas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.

(3) dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.

(4) untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.


Berdasarkan ketentuan pasal 29 ayat (2) di atas, maka tidak ada alasan apapun juga bagi pihak bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan wajib menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian. Ini mengandung arti bahwa segala perbuatan dan kebijaksanaan yang dibuat dalam rangka melakukan kegiatan usahanya harus senantiasa berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. 

Dalam bagian akhir ayat 2 disebutkan bahwa bank wajib menjalankan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Dalam pengertian bahwa bank wajib untuk tetap senantiasa memelihara tingkat kesehatan bank, kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank. sehingga dalam rangka mendukung atau menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern. Hal lain yang menarik dalam ketentuan prinsip kehati-hatian bank ini adalah adanya kewajiban bagi bank menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank, sebagaimana dijelaskan dalam ayat 4 pasal 29 di atas.


Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian nasabah dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi perihal kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi terbuka yang sekaligus menjamin adanya transparasi dalam dunia perbankan. Informasi tersebut dapat memuat keadaan bank termasuk kecukupan modal dan kualitas aset.

Apabila informasi tersebut telah tersedia atau disediakan, maka bank dianggap telah melaksanakan ketentuan ini. Informasi tersebut perlu diberikan dalam hal bank bertindak sebagai perantara penenpatan dana dari nasabah atau pembelian/penjualan surat berharga untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya. Walau ketentuan ini terkesan berlebihan, namun ketentuan ini menunjukkan bahwa bank benar-benar memiliki tanggungjawab terhadap nasabahnya. Hal ini penting bagi bank dalam rangka menjaga hubungan baik dan berkelanjutan dengan nasabahnya. Sebab jika sekali nasabah dirugikan akibatnya nasabah selamanya tidak akan percaya kepada pihak bank. 

Hal ini juga relevan dengan konsep hubungan antara bank dan nasabahnya, yang bukan hanya sekedar hubungan debitur-kreditur semata, melainkan lebih dari itu sebagai hubungan kepercayaan. Dan juga penyediaan informasi tersebut sebenarnya salah atu ketentuan yang wajib dijalankan oleh Bank Syari’ah dan UUS sebagai bagian dari kewajiban pengelolaan resiko (penerapan prinsip kehati-hatian), sebagaimana yang tercantum dalam pasal 38 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008.


Penerapan prinsip kehati-hatian bank syari’ah juga dapat dilihat pada pasal 35 ayat (2), (3), (4), dan ayat (5). Dalam ayat (2) disebutkan bahwa Bank Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah (UUS) wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akutansi syari’ah yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang diatur dengan peraturan Bank Indonesia. Dan pada ayat selanjutnya, yakni ayat (3) dinyatakan bahwa neraca dan perhitungan laba rugi tahunan harus di audit terlebih dahulu oleh kantor akuntan publik. Setelah itu, neraca dan laporan laba rugi wajib diumumkan kepada publik dalam waktu dan bentuk yang telah ditentukan oleh Bank Indonesia. Namun ada pengecualian terhadap Bank Pembiayaan Rakyat dalam hal kewajiban penyampaian laporan tersebut, Sebagaimana isi ayat (4) dan (5) :

(4) bank Indonesia dapat menetapkan pengecualian terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Bank Pembiayaan Rakyat.
(5) bank syariah wajib mengumumkan neraca dan laporan laba rugi kepada publik dalam waktu dan bentuk yang ditentukan oleh Bank Indonesia.


Lebih lanjut tentang prinsip kehati-hatian, baik bank syari’ah maupun UUS harus menempuh cara-cara yan tidak merugikan bank syari’ah ataupun UUS, dan tidak merugikan nasabah dalam hal penyaluran dana pembiayaan dan ketika akan melakukan usaha lainnya. Dalam hal tersebut, Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan prinsip syari’ah (baca : kehati-hatian), pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga yang berbasis syari’ah, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh Bank Syari’ah dan UUS kepada nasabah penerima fasilitas ysng terkait, termasuk kepada perusahaan dalam kelompok yang sama dengan Bank Syari’ah dan UUS yang bersangkutan. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 37 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008.


Dengan demikian, menurut penulis, tujuan diberlakukannya prinsip kehati-hatian tidak lain adalah agar bank selalu dalam keadaan sehat. Dengan kata lain, diberlakukannya prinsip kehati-hatian diharapkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tetap tinggi, sehingga masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya di bank. Prinsip kehati-hatian harus dijalankan oleh bank, bukan hanya karena dihubungkan dengan kewajiban agar bank tidak merugikan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank dan masyarakat (melalui penyaluran kredit bank), melainkan juga berkaitan erat dengan sistem moneter yang menyangkut kepentingan semua anggota masyarakat (bukan semata-mata nasabah penyimpan). 

Namun menurut pendapat penulis, penerapan prinsip kehati-hatian belum optimal, karena akhir-akhir ini masyarakat dibuat resah dengan berita lenyapnya dana nasabah yang ada di ATM meskipun nasabah tersebut tidak merasa melakukan transaksi. Penulis menilai hal tersebut bisa terjadi karena kurang maksimalnya penerapan prinsip kehati-hatian oleh bank. Sehingga kepercayaan masyarakat terhadap bank berkurang.

PANDANGAN HUKUM ATAS PELANGGARAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM BANK SYARIAH


Dalam penerapan prinsip syari’ah, termasuk didalamnya prinsip kehati-hatian, bank syariah dan UUS tidaklah selalu ideal seperti yang tercantum dalam perundang-undangan. Sehingga sangat dimungkinkan terjadi pelanggaran terhadap prinsip syar’ah terutama prinsip kehati-hatian tersebut. Undang-undang perbankan pun juga memuat sanksi-sanksi atas pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian bank syari’ah. Pengaturan sanksi dibedakan atas sanksi administratif dan sanksi pidana, dengan pola pengaturan umumnya hamper sama dengan Undang-Undang Perbankan (Konvensional). Untuk kelalaian dalam hal laporan keuangan, sanksinya diantaranya disebutkan dalam pasal 62, 63. Dalam pasal 62 ayat (1) dan (2) misalnya, disebutkan :

(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syari’ah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja :
a. Tidak menyampaikan laoporan keuangan sebagiman dimaksud dalam pasal 35 ayat (2); dan/atau
b. Tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua ) tahun dan dan paling lama 10 (sepuluh) tahundan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah)

(2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syari’ah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang lalai :

a. Tidak menyampaiakan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pasal 35 ayat (2); dan/atau
b. Tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).


Sedangkan pengaturan sanksi yang relatif baru dalam hal ini adalah pasal 66 UU No. 21 Tahun 2008, dimana disebutkan bahwa sanksi pidana bagi direksi atau pegawai Bank Syari’ah atau UUS dengan sengaja :

  • Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan UU ini dan perbuatan tersebut telah mengakibatkan kerugian bagi bank; Menghalangi pemeriksaan atau tidak 
  • membantu pemeriksaan yang dilakukan oleh dewan komisaris atau kantor akuntan publik;
  • Memberikan penyaluran dana atau fasilitas penjaminan dengan melanggar ketentuan yang berlaku;
  • Tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan batas maksimum pemberian penyaluran dana;

Diancam dengan pidana penjara 1-5 tahun, dengan pidana denda antara Rp 1-5 milyar. Sedangkan pengaturan mengenai pemidanaan atau kriminalisasi terhadap Batas Maksimum Pemberian Penyaluran dana (BMPPD) tidak dikenakan secara langsung. Sama halnya dalam perbankan konvensional yang menerapkan pasal 49 ayat (2) untuk menjaring pelanggaran BMPK, yaitu apabila bank tidak melakukan langsung-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam dalam UU perbankan, dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank. 

Dengan demikian diberikan kesempatan bagi bank untuk melakukan perbaikan/ koreksi atas pelanggaran BMPK, hal ini mengingat terjadinya pelanggaran tersebut tidak langsung diketahui pada saat pemberian kredit, tetapi bisa saja baru diketahui dikemudian hari. 

Adanya pengaturan sanksi tersebut diharapkan dapat lebih mempertegas ancaman terhadap norma-norma yang telah ditetapkan, yang seharusnya dipatuhi oleh direksi maupun pegawai bank. Namun dalam prakteknya tidaklah demikian. Persaingan diantara pemilik dan pengelola bank semakin meningkat saat ini. Sehingga akhir-akhir ini banyak kita jumpai pelanggaran-pelanggaran prinsip kehati-hatian oleh bank. Dan pelanggaran-pelanggaran tersebut menjadi hal yang biasa. Pada akhirnya, para penegak hukum harus bekerja ekstra, menindak segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh bank karena akan berdampak luas terhadap perekonomian



 KESIMPULAN 


  1. Bahwa undang-undang Perbankan telah mengatur adanya prinsip kehati-hatian, terutama hal tersebut tercantum dalam UU No. 1 tahun 1998 dan UU No. 21 tahun 2008. Prinsip tersebut juga ternyata secara khusus ditemukan dalam Hukum Islam sebagai landasan hukum operasional bank dengan prinsip syari’ah.
  2. Penerapan prinsip kehati-hatian oleh bank syari’ah sebagai timbale balik atas kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut dalam hal penyimpanan dana.
  3. UU Perbankan juga mengatur sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh bank terkait prinsip kehati-hatian. Itu artinya hukum bertindak tegas terhadap pelanggaran prinsip kehati-hatian karena akan berdampak luas terhadap perekonomian apabila dibiarkan.






DAFTAR PUSTAKA

Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Kencana prenada, Jakarta
Mulhadi, 2005, Prinsip Kehati-Hatian Dalam Kerangka UU Perbankan Di Indonesia,USU, Sumatera Utara
Permana, Arief, 2008, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan volume 6 nomor 2
Ali, Zainuddin, 2008, Hukum Perbankan Syariah ,PT Sinar Grafika, Jakarta
___________ Undang-Undang Perbankan Syari’ah No. 21 Tahun 2008
____________ Undang-Undang No. 10 Tahun 1998

No comments

Post a Comment